Minggu, 31 Maret 2013

Kenangan Sang Guru



(Kisah Ahsin dan Sang Kyai yang Selalu Berujar Rapeeeet Lempeng)



Pada Ramadlan 1405 H atau Mei 1985 M, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Babakan Ciwaringin Cirebon saya yang kala itu datang bersama KH.Abdul Aziz seorang Kyai dari Cidulang Cikijing dan Bapak D. Badruddin ayah angkat saya, langsung sowan alias kulo nuwun ke kediaman pengasuh yang tidak lain adalah Al Mukarrom.  Kami disambut dan disuguhi mamiri (makan minum ringan) oleh seorang Bapak bersarung merah hati dengan kemeja lengan panjang kancing tangan plus berkopiah hitam.

Setelah selesai melayani kami, orang itu lalu duduk di hadapan kami. Saya bertanya-tanya dalam hati; mana kyainya, kok belum keluar juga? Maklum, saya yang datang dari daerah minoritas muslim mengenal figur Kyai sejak di bangku SD, seperti gambar-gambar pahlawan nasional, misalnya Diponegoro, Imam Bonjol, Tengku Umar dan lain lain. Sehingga batin saya sudah membayangkan akan keluar menjumpai kami seorang Kyai dengan lilitan sorban di kepala dan dagu yang berjenggot.


Betapa kagetnya saya setelah duduk di hadapan kami, orang itu lalu mengambil sebuah buku besar dan bertanya sambil memandang kepada saya.

“Siapa namamu?”

“Pua Monto Umbu Nay,” jawab saya sambil agak malu-malu karena sadar akan nama yang antik dan lain dari pada yang lain untuk ukuran di lingkungan Jawa.

“Apaaaaa?”

Saya melafalkan lagi nama saya.  Tetapi tetap saja nama saya sulit diingat dan diucapkan oleh  Bapak itu.

“Namamu kok susah sekali diucapkan,” spontan saja Bapak itu berkata, “Mulai saat ini namamu saya ganti dengan AHSIN, diambil dari salah satu firman Allah, yang artinya : Berbuat baiklah engkau. Mudah-mudahan setiap orang memanggilmu, engkau selalu ingat untuk berbuat baik, amin….”.

Saya tetap masih penasaran, siapa orang ini dan mana Kyainya, kok belum juga keluar ?

Setelah kedua pendamping saya, KH.Abdul Aziz dan Bapak D. Badruddin ngobrol dengan Bapak itu beberapa lama, mereka berdua segera berpamitan. Sementara saya masih penasaran. Kemudian saya memutuskan untuk bertanya kepada ayah angkat agar seluruh penasaran saya lenyap.


“Siapa orang itu tadi dan mana Kyainya?”

“Itulah tadi Kyainya…..” jawab ayah angkat saya kalem.

“Haaaaa?” saya terkejut mendengarnya. Tapi sejurus kemudian saya pasrah.
Sejak detik itu, resmilah saya diterima oleh al-Mukarrom sebagai santri Pondok Pesantren Kebon Melati Babakan Ciwaringin Cirebon. Saya kemudian mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar yang dimulai pada Syawwal 1405 H atau Juli 1985.

Pelajaran pertama yang saya terima di pesantren seperti pada umumnya santri baru di Melati, wajib mengikuti ngaji akhlak, pasolatan dan Qur’an langsung di bawah asuhan al-Mukarrom. Di bawah sinar lampu petromaks (kalau di Sumba disebut lampu gas) berbaurlah saya yang masih malu bicara karena dialek Sumba yang selalu ditertawakan oleh teman-teman Jawa, sementara saya tidak punya sekutu satu pun. Saya hanya bisa pasrah.

Namun meskipun saya masih diliputi rasa malu untuk banyak omong, al-Mukarrom selalu  menunjuk Ahsin lagi dan Ahsin lagi untuk membaca teks pelajaran akhlak dalam tulisan arab berbahasa Jawa Cirebon. Bisa ditebak,  teman-teman menertawakan saya, bahkan sampai di luar majlis ngaji pun saya masih terus diolok-olok. Tapi saya masa bodoh dengan olok-olok itu dan terus penasaran dengan figur al-Mukarrom. Lama kelamaan mereka pun berhenti menertawakan saya. Saya  semakin senang karena hampir tiap hari disuruh baca teks pelajaran akhlak yang ditulis di papan hitam dengan kapur tulis merk Sarjana. Dari situlah tumbuh kekaguman saya terhadap  al-Mukarrom.

Pada awalnya saya tidak percaya dan diliputi rasa sangsi, kalau beliau adalah seorang Kyai. Kekaguman saya semakin berjejal-jejal ketika dengan lincah dan tanpa keliru beliau menyebutkan nama satu persatu santrinya yang begitu banyak. Satu hal lain yang amat saya kagumi adalah al-Mukarrom tidak  disapa dengan sapaan Kyai sebagaimana lazimnya masyarakat menyapa seorang pengasuh pesantren, tetapi akrab disapa dengan sapaan ‘Akang’ yang artinya kakak laki-laki, sampai beliau tutup usia.

Pada tahun kedua, saya memberanikan diri mengikuti kajian I’roban Subuh di bawah asuhan al-Mukarrom. Lagi-lagi saya menjadi langganan pembaca sekaligus pengurai kata demi kata dari teks matan Jurumiyah. Kali ini saya kagum akan kelihaian al-Mukarrom menyebutkan nama-nama santrinya yang begitu banyak tanpa harus menambahi nama itu dengan embel-embel plesetan. Padahal saat itu beberapa santri memiliki nama yang sama. Namun tak pernah sekali pun bibir santun beliau memlesetkan nama-nama itu untuk memudahkan ingatan. Misalnya Ahmad yang rambutnya keriting, lalu dipanggil Mad Galing.

Namun hal yang paling saya kagumi adalah beliau tidak hanya mengajarkan ilmu akhlak sebagaimana yang diterima santri baru, tapi bahkan sekaligus mempraktekkan ilmu akhlak tersebut kepada santri baru. Termasuk ketika saya datang kulo nuwun. Beliau sendiri yang menyambut, menyuguhi mamiri dan mengantar sampai depan pintu ketika kami berpamitan.


Selepas ngaji subuh, beliau bergegas mengayuh sepeda kumbangnya dengan membonceng dua keranjang bambu menuju pasar Prapatan untuk membeli kebutuhan warung Bu Nyai. Di warung tersebut Bu Nyai menyajikan panganan untuk para santri. Dengan menukarkan Rp. 25,- seorang santri bisa menikmati sebungkus oreg atau kangkung tumis. Saya trenyuh dan bangga akan figur kekyaiannya. Saya semakin segan, malu takut sekaligus hormat kepada beliau.

Ketika saya harus keluar dari kompleks pesantren menuju MAN Bacicir yang hanya melewati satu pintu di samping warung sang Nyai, saya mau tidak mau akan melihat al-Mukarrom duduk meracah tempe dan sayuran yang akan dimasak. Seandainya ada pintu lain menuju MAN saya akan lewati pintu lain itu. Rasanya tak tega melihat beliau dengan beban ratusan santri, masih pula harus memikul beban keluarga..

Mungkin karena paling jauh, dan nama yang cukup aneh ditambah lagi sekali-kali di masa liburan saya lebih memilih tetap tinggal di pesantren, akhirnya saya menjadi akrab dengan al-Mukarrom dan bu Nyai. Suatu ketika di musim liburan saya tetap tinggal di pesantren bersama beberapa teman termasuk ada dua teman yang agak jauh setelah saya, yaitu dari Lampung. Saya sangat kaget ketika menemukan Kyai sedang jongkok di salah satu closed WC saat saya hendak buang hajat, dengan sebatang rokok GG Merah yang telah mengepul dijepit kedua bibir santunnya. Tangannya merogoh batu yang menyumbat di lubang closed. Tak lama kemudian, beliau memanggil: “Sin, hayu urang gotong royong bongkar ieu gudang tai (septic tank, Red).”

“Mangga, Kaang,” jawab saya.

Mulailah penutup septic tank dibuka. Bagai sedang menimba air di sumur, beliau menguras kotoran santri yang selama beberapa bulan tidak terjadi proses pembusukan dengan tangannya sendiri.  Saya dan kawan-kawan yang ada membantu beliau mengangkat dan membuang kotoran tinja itu di lubang baru yang ada di belakang pondok Durrotunnashihin.

Saya kembali menemukan figur panutan sosok beliau melalui kejadian ini. Kyai yang tidak merasa dirinya priyayi. Kyai yang bersahaja. Saya semakin kagum dan takut akan sosok beliau.

Kian tahun santri Melati semakin membludak, sehingga berdampak pada berdesak-desaknya santri dalam satu kamar. Al-Mukarrom mengadakan rapat dengan pengurus untuk mencari solusinya pada tahun 1988. Disepakatilah untuk segera mengundang semua orang tua/wali santri. Bisa diprediksi sekitar 90% orang tua/wali santri hadir dalam pertemuan. Hasilnya luar biasa. Terhimpun dana spontanitas Rp. 18.000.000,-. Dan orang tua santri dari daerah-daerah tertentu berhimpun kekuatan secara lokal (seperti Cikijing, Subang dan Sumedang) minta restu kepada Kyai untuk mendirikan bangunan utuh di lokasi yang masih kosong.

Betapa saya terkejut karena saya ditunjuk di dalam pertemuan itu sebagai bendahara panitia pembangunan dan perluasan asrama santri Padahal sebelumnya saya sudah cukup gelagapan ketika diminta untuk mengajar sorogan isya di awal tahun ketiga. Namun saya tidak bisa menolak dari tugas yang diembankan kepada saya. Dengan penuh tanggung jawab saya laksanakan semua tugas tersebut.


Sementara itu hubungan saya dan al-Mukarrom semakin akrab. Tidak hanya sebatas santri dan kyai tetapi sudah menjadi hubungan antar anak dan orang tua. Tiap hari satu sampai dua tiga kali beliau mencari saya untuk melayani kebutuhan tukang yang mengerjakan bangunan. Dari sini saya mulai belajar tentang ukuran besi beton yang digunakan untuk bangunan dengan beban dan berbagai ukuran. Dan campuran yang bagaimana yang kuat dan rapuh untuk sebuah bangunan. Disinilah saya kembali menemukan sosok lain di dalam diri al-Mukarrom. Ternyata dalam kesahajaan pribadi dan kedalaman ilmu agamanya, beliau menyimpan keterampilan sebagai seorang ahli bangunan

Pada tahun 1988, setelah dinyatakan lulus dari MAN Bacicir, saya telah mantap ingin melanjutkan kuliah. Suatu keinginan yang membutuhkan kemauan dan tekad yang besar, karena disamping keinginan itu,  saya ingin memenuhi target yang ditetapkan oleh pesantren untuk nyantri selama minimal tujuh tahun. Sehingga kemudian, saya menghadap al-Mukarrom dan memohon ijin kuliah di IAIN Sunan Gunung Djati Cirebon sambil tetap tinggal di Pondok. Saya mengajukan alasan kenapa saya harus tetap kuliah. Saya akan pulang ke NTT untuk menyampaikan da’wah, di sana saya akan berkumpul dengan tokoh agama lain yang mayoritas dan bergelar akademik. Saya ingin punya gelar untuk kepentingan da’wah. Beliau merestui niat saya dengan syarat saya tetap menomorsatukan pondok. Saya dengan gembira menjawab; “Muhun, Kang.”

Berkuliah sembari terus nyantri di saat itu dipandang sangat sulit. Jarak adalah salah satu hambatan utama bagi santri yang ingin kuliah tapi juga ingin tetap mondok di pesantren. Banyak di antara santri-santri  di Melati yang pada akhirnya harus kabur dari pesantren, karena untuk berkuliah di Cirebon yang berjarak kurang lebih 25 KM dari Ciwaringin dan di sisi lain tetap tinggal di pesantren demi menuntaskan terget tujuh tahun itu sangatlah tidak mudah. Hanya mereka yang punya tekad dan semangat tinggi saja yang bisa menjalaninya.

Tidak terpenuhinya target tujuh tahun itu dianggap sebuah pelanggaran oleh pesantren, jadi tidak heran mereka yang tidak cukup kuat itu lebih memilih untuk kabur. Mungkin banyak yang tidak ingat, kalau saya adalah pelopor pertama santri yang berhasil kuliah dan tetap tinggal di pondok sampai target nyantri tujuh tahun itu terpenuhi. Bolak balik Ciwaringin Cirebon dengan menumpang bis hampir setiap hari. Sampai-sampai bagi saya, bis sudah jadi pengganti tempat tidur karena saat di perjalanan saya sering tidur untuk mengganti jam tidur saya yang kurang. Alhamdulillah, semua bisa saya lalui dengan baik dan saya rasakan semua pengalaman itu tidaklah sia-sia.

Kini, seiring pertumbuhan pesantren dan pertambahan santri yang pesat, sudah banyak santri-santri yang tetap nyantri sembari berkuliah. Apalagi dewasa ini sudah ada Perguruan Tinggi di Ciwaringin sendiri yang dekat jaraknya dengan lokasi pesantren.

Seiring dengan berjalannya waktu, sampailah saya di penghujung masa pertapaan di tanah Jawa. Saya pernah ditawari al-Mukarrom untuk dijodohkan dengan seorang gadis dari Sumedang. Tetapi karena satu alasan, saya harus menolak tawaran tersebut.  Ternyata saya kembali harus kagum akan kelapang-dadaan beliau. Dengan jiwa besarnya beliau bisa memaklumi alasan saya menolak tawarannya.


“Saya harus pulang, Kang. Di tanah Jawa ini sudah banyak Kyai, tetapi di Sumba tanah kelahiran saya yang sangat minoritas muslim dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tidak ada da’i tetap dan penyuluh yang mumpuni.” begitu penjelasan saya saat itu pada beliau.

Di saat itu pula saya memberitahukan pilihan jodoh yang akan mendampingi saya berda’wah yang tidak lain adalah putri dari Bapak D. Badrudin, ayah angkat saya. Beliau memberi restu. Barakallah…..

Niti wanci nu mustari ninggang mangsa nu sampurna.

Akhirnya saya diakad-nikahkan oleh al-Mukarrom --yang penuh wibawa dan lisannya tak pernah mengeluarkan kata kasar apalagi makian itu--- pada 25 September 1993. Saya masih mengingat dengan jelas, detik-detik boyong kembali ke tanah kelahiran saya. Saya berpamitan haru seraya mengharap segudang do’a untuk suksesnya pengamalan ilmu di kancah nyata.

Bersamaan dengan keboyongan saya tak lama kemudian terjadi prahara di Pondok Pesantren Kebon Melati. Pondok Pesantren kenangan itu berubah menjadi  Pondok Pesantren Kebon Jambu.

Setelah peluang menjadi PNS saya tangkap sebagai sarana pengembangan da’wah sekaligus, saya belum berani minta restu kepada al-Mukarrom. Maklum, saya masih takut dan terngiang-ngiang semua pelajaran Kitab Sulam Taufiq dan Hikam yang beliau ajarkan. Dari ajaran kitab itu, saya dan kawan-kawan beranggapan beliau anti sekolah dan anti PNS.  Barulah setelah dua tahun menjadi PNS di Departemen Agama, saya silaturrahmi pertama kali setelah boyong ke kampung halaman. Di saat itulah saya datang minta restu menjadi PNS.

“Teu naon-naon, nu penting entong ninggalkeun pondok,” ujar beliau dengan penuh wibawa.

“Muhun, Kang.” jawab saya ta’zim.

Saat itu merasa sebagai alumni, saya mulai berani bergurau dengan al-Mukarrom.

“Kang, zaman sekarang aneh-aneh saja.”

“Apa yang aneh?” tanya beliau.

“Bunga Melati Berbuah Jambu.”

“Hehehe, ente aya-aya wae…..,”

Hampura, Akaaaaang. Saya temukan yang kesekian kalinya figur al-Mukarrom. Seorang Kyai humoris yang berwibawa. Humor-humornya berisi mengandung hikmah yang sulit dilupakan. Saya berusaha meniru gaya humor beliau, ketika kini saya berhadapan dengan santri-santri saya yang tidak lain adalah cucu santri beliau.

Kini Sang Guru telah pergi menemui Kekasihnya. Berpisah fisik dengan semua santrinya, namun nilai-nilai pengabdian dan ta'limnya yang tulus terus menemani santri-santrinya dalam melanjutkan pengabdian. Wallahu a’lam bishshawaaab,,,,,,




Waikabubak, PP Baitul Hikmah Rabi’ul Awal 1434/ Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar